DUA WANITA TUA
Wanita tua berusia 85 tahun itu duduk di sofa, Rumahnya yang kecil sekarang sudah di bangun oleh anak2nya menjadi rumah gedung yang bagus namun Mbah Dikun tetap menjalani profesinya yaitu sebagai penggembala kambing dan sapi. Pagi itu Mbah Dikun sedang makan dengan lahap. Aku mendekat dan mengamati nasi putih di dalam piring tak ada lauk tak ada sayur, hanya kuah bakso yang bening dengan satu biji cabe rawit yang besar dan panjang.
"Mbah, kok tidak pakai lauk dan sayur? tanyaku, padahal di meja makan ada bakso lengkap juga Tongseng daging kambing dan kerupuk.
"Tidak Nduk, ini sudah enak kok sama kuahnya saja " Mbak Dikun meneruskan makannya dengan lahap sesuap demi sesuap. lalu "Kress....!!! Huah,..Huah pedes nduk, tapi seger, enak..! Mbah Dikun tertawa-tawa karena kepedesan makan cabe rawit. Tangan kanannya meraih segelas air putih lalu meminumnya dengan nikmat. Tangannya sama sekali tidak gemetar seperti orng-oarang tua yang sudah lanjut usia.
Aku menoleh pada anakku yang sedang asyik menonton TV. "Lihat tuh Dek, Mbah Dikun saja makannya habis,..kok dedek tidak dihabiskan?".
"Ya harus habis sayang, rejeki jangan di buang-buang". Mbah Dikun menimpali, aku terkejut rupanya bisikanku terdengar oleh Mbah Dikun.
"Kenopo Nduk, simbah masih dengar kok, simbah juga penglihatannya masih bagus ".
"Oh, begitu ya Mbah,..makanya simbah jalan kemana-mana meski ruangan agak gelap juga santai -santai saja".
Setelah selesai makan, Mbah Dikun istirahat sebentar, lalu kembali bercerita tentang perjalanan hidupnya, Mbah Dikun mempunyai 6 orang anak, dan di tinggal meninggal suaminya saat anak-anak belum banyak yang mandiri, menghidupi anaknya dengan berkebun dan berternak, dulu hanya menjalankan ternak milik tetangga dengan berbagi hasil sampai akhirnya mbah Dikun punya ternak sendiri, semua di jalani dengan sabar dan Iklas dengan menjalankan sholat lima waktu yang tidak pernah Ia tinggalkan, kini anak-anaknya sudah pada mandiri dan tinggal di kota lain tetapi mereka masih sering datang dan berkunjung. Mbah Dikun berprinsip selama masih punya kemampuan dan kekuatan ia lebih suka tinggal di rumahnya sendiri dan hidup mandiri, ia tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya.
"Sudah agak siang Nduk, simbah mau menggembala kambing dulu ya?". Mbah Dikun beranjak menuju ke belakang. Aku meneruskan menyapu dan merapikan ruang tamu. Tak begitu lama lewat depan rumah Mbah Dikun, menggiring kambingnya yang ada 5 ekor, dengan tubuh yang sedikit membungkuk namun masih terlihat kuat itu melangkah sambil setengah berlari tanpa alas kaki mengejar kambing-kambingnya. mendengar suara Mbah Dikun, kambing-kambing itu menurut saja lalu berjalan dengan tenang sambil beriringan.
"Hush,..! Hush,..Hush...ayo ke lapangan!" teriak Mbah Dikun pada kambing-kambingnya.
Sejenak Mbah Dikun berhenti, terus menoleh padaku. "Ayo Nduk, ikut simbah ke lapangan". "Iya Mbah sebentar,.." Aku segera bergegas masuk untuk meletakkan sapu, dan memakai jilbab. Begitu aku keluar dan mencari-cari Mbah Dikun sudah tidak kelihatan lagi.
Aku masuk rumah kembali, datanglah tamu wanita tua juga bernama Mbah Siwo, seorang tukang urut berusia 85 tahun. Hari itu adalah jadwal Mbak Siwo untuk menjalani tugasnya di rumah adik iparku, setelah adikku di urut, akupun ingin mencoba merasakan enaknya tukang urut yang sudah cukup terkenal di sekitar kampung wonosari tersebut. Sebelum bekerja Mbah Siwo, mengucapkan "Bismillahirohmanirohim...lalu menbaca doa..bekerjalah ia dengan tenang, Mbah Siwo adalah tukang urut panggilan, Ia sudah 36 tahun menjalani profesi itu. Mbah Siwo, di tinggal mati suaminya ketika usia 40 tahunan, di tinggali 4 orang anak yang belum semua mandiri, suaminya meninggal sangat mendadak, di saat anak pertamanya akan melangsungkan pernikahan, kebahagian bercampur dengan kesedihan di jalaninya dengan penuh keiklasan, kehidupannya yang hanya mengandalkan sebidang sawah dan ladang itu tak cukup untuk menghidupi keluarganya akhirnya Mbah Siwo menekuni profesinya kembali sebagai tukang urut yang dulu pernah di jalaninya ketika masih gadis, dengan landasan keimanan dan kepasrahan pada sang Maha pencipta, kini profesinya sebagai tukang urut makin di kenal hampir tiap hari ada saja yang datang menjemput ke rumahnya untuk meminta tolong. Dulu dalam satu hari Mbah Siwo bisa menangani 8 orang pasien sekaligus, baik pasien laki-laki, perempuan ataupun anak bayi, masing-masing ditangani selama 2,5 sampai 3 jam, tenaganya benar-benar kuat. Ia tidak hanya memijit asal-asalan, prosesnya Ia kendorkan dulu semua otot seluruh tubuh ,lalu menggunakan minyak kayu putih atau handbody, otot-otot itu di luruskan atau di kembalikan sesuai pada tempatnya. bagi otot-otot yang salah, pijitan Mbah Siwo yang pelan itu serasa sakit sekali. Namun hasilnya luar biasa, badan terasa ringan, kelelahan hilang dan tubuh serasa kencang, perut yang kadang terasa mual, atau nyeri akan menjadi lega dan enak makan. Kini Mbah Siwo membatasi pasiennya mengingat usianya yang sudah lanjut, beberapa pasien bisa di batalkan jika Ia sudah menerima satu panggilan di suatu tempat. Meski usinya sudah, 85 tahun Mbah Siwo tidak kelihatan tanganya gemetar,.Ia masih kuat, pendengaran dan penglihatannya juga tajam dan tidak pernah mengeluh, rasa syukur dan kebahagian selalu mewarnai hidupnya, Tuhan memang akan selalu memberi rejeki bagi umatnya yang mau berusaha itu yang Mbah Siwo yakini, ia juga tidak ingin menjadi beban bagi keluarganya. Meski hanya sepiring nasi yang Ia dapatkan, ia akan tetap bersyukur..hingga hidupnya semakin berkah di mata Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar