Sabtu, 22 November 2014

SEMUA MENUJU SENJA

Di perempatan patung pancoran Jakarta selatan, berdiri seorang nenek berusia 50 tahun, jalannya menggunakan tongkat, nenek Siti namanya. Ia baru datang dari kampung dengan berbekal sebuah alamat, hendak menyeberang jalan. Hujan begitu deras, di sebuah halte nenek Siti berteduh bersama beberapa orang yang berbondong-bondong ikut berteduh, beberapa orang di sampingnya nampak biasa saja, namun seorang gadis berusia 30 tahunan berwajah sederhana namun bertubuh indah nampak risih berdekatan dengan nenek Siti yang nampak berpenampilan kampung  dan  lusuh.

Gadis berusia 30 tahun, dengan penampilan modis itu bernama Marni, namun semenjak Ia tinggal di Jakarta Marni menamakan dirinya Merry. Merry, gadis lulusan SMA itu sudah 3 bulan menumpang temannya di tempat kost. Merry bermaksud untuk mencari kerja namun belum menemukan juga. Beberapa tawaran kerja datang tetapi hanya sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak, atau penjaga warung sayur, Merry selalu menolaknya karena Ia merasa tidak pantas untuk bekerja kasar seperti itu. Merry menginginkan kerja di sebuah perusahaan, di restoran terkenal atau tempat-tempat yang menurut dia "WAH"...!

Sudah 5 perusahaan Merry datangi, tetapi tak satupun perusahaan yang menerima lamarannya jawabannya selalu sama yaitu "Tidak Ada Lowongan,..!"
Suatu hari Merry tanpa sengaja bertemu lagi dengan nenek Siti, Nenek Siti segera menyapa, "Eh' Neng ketemu lagi,..! Merry berusaha menghindar melihat penampilan Nenek Siti yang makin lusuh, namun sejujurnya bias-bias kecantikan di masa muda Nek Siti masih tersisa dan nampak jika Nenek sedang tersenyum. Di kampungnya dulu Nenek Siti memang di kenal sebagai bunga desa, namun nenek Siti tidak sombong dengan julukan itu, bahkan bersahaja.
Ketika terjadi letusan gunung berapi yang sangat dahysat di desanya, nenek Siti mengungsi hingga terpisah dengan anak semata wayangnya yaitu Danang. Danang yang waktu itu masih SD ikut penduduk yang  tinggal di pengungsian. ,Danang mengira ibunya sudah meninggal karena tertimpa longsoran gunung berapi, hingga Danang bersedia diadopsi anak oleh keluarga kaya di Jakarta.

"Neng...,saya Minta tolong untuk mencarikan alamat ini? nenek Siti mencari secarik kertas.
"Sa,..Sa,.ya, buru-buru nek, sama yang lain saja ya?" Merry segera berlalu dari hadapan nenek Siti. Nenek Siti terbengong dengan raut wajah kecewa.

Nenek Siti, terus melanjutkan perjalanan, perbekalannya sudah hampir habis namun anaknya belum juga diketemukan. Perasaannya mulai sedih, rasa lelah dan lapar mulai menyerangnya membuatnya putus asa. Di kota besar seperti metropolitan itu, Nenek merasa tak ada orang mau perduli dengannya, mungkin dirinya sudah dianggap semacam gelandangan atau pengemis liar sempat beberapa kali dia diusir jika berada di tempat yang terlihat bagus.
Nenek Siti berusaha menyeberang jalan,.tiba-tiba"..."Din-din-din,....Ciaatt..!! sebuah tangan menarik nenek Siti dengan segera untuk di bawa ke pinggir jalan. Sebuah mobil warna merah membuka kaca mobilnya muncul wajah anak muda sambil memandanginya, tanpa suara tanpa kata anak muda itu kembali menutup kaca mobilnya dan berlalu dari hadapan Nenek Siti.

"Lain kali kalau mau menyebrang, hati-hati Nek,..! Suara seorang gadis cantik berambut panjang itu mengingatkan. "Iya Nak, terima kasih sudah menolong saya!"
"Nenek mau kemana, ini sudah mau malam nenek sebaiknya pulang saja!"
"Justru itu Nak, saya belum menemukan alamat anak saya".
"Memang alamat rumah anak Nenek di mana?
Nenek Siti segera menunjukkan secarik kertas yang sudah mulai kumal karena genggaman dan cara penyipanan nenek yang asal-asalan yaitu hanya di selipkan kedalam lipatan kainnya.
Gadis cantik itu mengambil sebuah alamat lalu membacanya, setelah membaca gadis itu segera mengatakan bahwa alamat itu masih cukup jauh dari situ dan lagi jalanan macet, maka gadis cantik tadi mengajak Nenek untuk tinggal sementara di rumah kontrakkannya.

Bersambung...








Jumat, 07 November 2014

KAMPUNGKU KAMPUNG SANG JENDERAL


     Temaram sang surya mengukir senja, remang menjelang membawa insan ke peraduan. Angin sepoi menerpa jiwaku yang nelangsa, karena "Arjuna" kekasihku pergi jauh mengemban tugas negara ikut mengamankan negara bersama para gerilyawan Indonesia menuju ke kota Batavia.

      Di desa Rendeng Kabupaten Purworejo tempat aku lahir, merupakan Desa yang tenang dan tanpa gejolak kini di sebut sebagai kota pensiun. Tahun 1960, usiaku sudah 25 tahun merupakan usia yang sudah tua bagi seorang gadis perawan di kampungku. Namun aku belum menikah. kedua adikku Asih dan Atik yang berusia 23 dan 20 tahun itu masing-masing sudah punya kekasih. Aku mengiklaskan saja mereka menikah meski mereka tidak mau alasannya mereka tak sampai hati untuk melangkahiku. Kedua adikku mendesakku agar cepat menikah mereka sudah sangat malu menyadari kami yang biasa dijuluki "Tiga Dara" belum ada satupun yang menikah.

"Asih,..mbak nggak opo-opo kalau kamu mau menikah duluan!"
"Tapi,..Mbakk ..
"Wis nggak usah pakai tapi-tapian, besok panggil mas Bagus, kita atur waktunya nanti tinggal ngabari Bapak, ben bapak kondur,.jadi wali nikah kamu"
"Tapi,..piye mbak,njenengan..?
"Wis nggak usah piye-piye,..sing penting kowe ndang cepet nikah, mbak ikut senang!"
Akhirnya Asih menyetujui saja kehendakku. Asih langsung di boyong ke Batavia.

Selang Tiga bulan, Adikku Atik ikut kakaknya merantau ke Batavia dan kini tinggallah aku sendiri. Ibuku sudah lama Almarhum semenjak Atik berusia 3 tahun selama itu aku dan bapak mengasuh adik-adik bersama-sama. Bapak kerja di Semarang sebagai petugas pengairan sawah, sejak ibu meninggal bapak giat sekali bekerja meski harus berpindah-pindah tempat namun bapak jalani demi menafkai kami anak-anaknya,, sungguh perjuangan bapak luar biasa meski harus sendirian selama bertahun-tahun.

**

"Eni, ayo teruskan menulisnya,...! suara eyang wongso membuat aku tersadar dari lamunan.
"Oh, enjih-enjih eyang,..nyuwun pangapunten..! 
Aku meneruskan menulis sebuah surat. Eyang Wongso adalah majikanku, selain aku kerja di toko tak segan-segan aku di panggil oleh eyang untuk membantu semua keperluannya terutama dalam hal komunikasi dengan putra-putrinya yang jauh melalui surat atau kadang-kadang melalui pesawat telepon.

Eyang Wongso adalah Ibunda Jenderal Anumerta Ahmad Yani, kantor pusatnya di Batavia namun sering dikirim ke berbagai kota bahkan juga keluar negeri. Sejak dari kelas enam SD, aku sudah di panggil dan menjadi Assisten Pribadi eyang wongso. Eyang Wongso adalah pribadi yang sangat baik, ramah, tidak sombong dan sangat dermawan terutama pada rakyat kecil, selain aku ada empat orang lagi yang mengurusi eyang, ada bagian masak, bagian nyuci, bagian nyapu dan tukang kebun, aku bagian surat-menyurat beliau sangat baik dengan kami semua sehingga beliau sangat disegani dandi hormati  di kampung Rendeng bahkan di kalangan kabupaten semua sudah sangat mengenal beliau sebagai ibunya Jendral.

Eyang Wongso sebagai pribadi yang sangat tegar terbukti ketika anak lelaki kesayangannya menjadi korban penculikan dan di bunuh di malam G30 SPKI, beliau tidak menangis atau meneteskan air mata namun kelihatan sekali dalam tatapan matanya yang kosong ada kesedihan yang teramat dalam.
Eyang masih mampu tersenyum menyambut para pejabat kabupaten dan beberapa pejabat penting negara mengucapkan turut berbela sungkawa. Eyang sudah sangat menyadari profesi anaknya di bidang kemiliteran memang resikonya sangat berat namun Eyang sangat bangga dengan tekad anaknya untuk membela negara meski harus berkorban jiwa dan raga, eyang selalu mendukung apapun yang dicita-citakan anaknya tercinta karena memang cita-cita itu mulia.

Sore itu Eyang memanggilku, dan aku segera menghadap aku pikir eyang menyuruh aku menulis surat atau menyuruhku untuk membaca sebuah surat namun ternyata bukan dan aku terkejut,
"Eni, ada telepon itu dari pacarmu,..wah..sudah punya pacar tho..! Eyang menggoda membuat aku menjadi malu. Aku segera bergegas menuju ke ruang tengah, dan benar juga suara seseorang yang sudah lama sekali aku rindukan.
"Selamat sore,..!
"Njih,.Njih, Selamat sore,..! Aku tergagap sambil tersipu malu.
Tiba-tiba...suara telepon di seberang sana berubah nyanyian...rupanya mas Arjuna menyanyikan lagunya Broery Marantika berjudul Ijinkan Aku Pergi.
"Ijinkan aku pergiii.....apalagi yang engkau tangisi,..semogalah penggantiku dapat lebih mengerti hatimu,..Memang berat kurasa,..meninggalkan kasih yang kucinta,  namun bagaimana lagi, semuanya harus kujalani,..selamat tinggal kudoakan,..kau selalu bahagia...hanya pesanku jangan lupa kirimkan kabarmuu,,,Bila suatu hari dia membuat kecewa di hati, batin ini takkan pendam mendengarmu hidup menderita,.Selamat tinggal kudoakan kau selalu bahagia...".
Tanpa terasa airmataku menetes, akupun sesenggukan.

Lagu itu lagu terakhir yang dinyanyikan mas Arjuna untukku, aku tak mengerti kenapa mas Arjuna tega-teganya memutuskan tali kasih ini.Selidik punya selidik ternyata telah terjadi salah paham, tanpa kuketahui ada seorang laki-laki yang selama ini membuntutiku bahkan selalu menungguku jika aku sedang bekerja di Toko. Lelaki asing itu selalu mengikuti kegiatanku sejak aku masih di rumah, berangkat ke toko sampai pulang dan juga aku ke rumah Eyang. Aku tidak pernah tahunamun Mas Arjuna ternyata lebih tahu siapa laki-laki itu yaitu salah seorang pegawai Puskesmas di kecamatan Gebang. Walaupun Mas Arjuna bertugas di Batavia tetapi mas Arjuna punya mata-mata juga di sini.

Diam-diam laki-laki yang belum kuketahui namanya itu sudah menemui bapakku dan berniat melamarku, hal ini di ketahui oleh mas Arjuna, padahal aku sama sekali belum menganalnya namu mas Arjuna telah salah paham dan mengira bahwa aku telah menerima lamaran itu.

Hingga kudengar kabar, setelah pimpinan Mas Arjuna meninggal yaitu Bapak Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mas arjuna di pindah tugaskan ke luar jawa dan kabar terakhir, Mas Arjuna menikah dengan gadis sebarang...pupuslah sudah harapanku...aku jatuh sakit,..dan sempat di rawat hampir sebulan di rumah sakit tentara Purworejo,...aku mengindap penyakit usus buntu sehingga harus di operasi, adik-adikku yang sudah punya anak kecil-kecil tak sempat menungguku di ruma sakit, Bapakku juga sangat sibuk sehingga hanya sesekali menengokku di rumah sakit, namun Eyang sudah memasrahkan aku pada seorang suster,.dan ternyata sosok misterius itu akhirnya muncul, dia dengan sabar menungguku di rumah sakit siang malam menjagaku di rumah sakit,..dia Adalah Anton yang selama ini membuntutiku dan membuat Mas Arjuna meninggalkan aku.

Rasa kekecewaan masih kurasa sehingga kesal melihat sosok lelaki itu,..bertahun-tahun aku terpuruk dalam kesedihan, adik-adikku semua sudah menikah dan punya anak, ayah semakin tua dan usiaku sudah kepala 3, semua orang sudah menebutku sebagai perawan tua, melihatku yang masih sendiri membuat ayah sedih dan mulai sakit-sakitan, agar ayah senang, akhirnya di usiaku yang ke 32 tahun akhirnya kau menerima lamaran lelaki asing itu yang mengaku sebatang kara.

Mungkin benar pepatah "Witing Tresno Jalaran Soko Kulino" lama-lama aku dapat mencintai mas Anton, dan aku melahirkan empat orang anak, 2 laki-laki dan dua perempuan, tanpa kuduga ketika anak-anakku remaja, keluarga besar Mas Anton datang semua berasal dari kota mereka sangat bahagia bertemu saudaranya kembali setelah terpecah-pecah akibat perang dan kerusuhan yang terjadi di tanah air. Kini aku hidup bahagia di kampung Rendeng, kampung sang Jendral. jika mengingat sang jenderal akan mengingatkanku pada sosok Mas Arjuna,..yang telah membuat luka, kini aku akan melupakannya demi masa depan anak-anakku tercinta.

                                                                 *******